PEMBAHASAN
PENGENALAN SINGKAT SUKU AMUNGME
A. Latar Belakang Suku Amungme
Amungme adalah suku bangsa yang bermukim
dalam wilayah desa Kwamki, sebagai bagian wilayah administratif Mimika Timur,
dan kelompok lainnya bermukim di lembang Arowandap dan Alama yang termasuk
Kecamatan Akimuga. Kedua Kecamatan ini bagian dari wilayah Kabupaten Fakfak,
Papua. Kawasan kediaman kelompok ini berada di lingkungan hutan yang heterogen
terletak pada ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut.
Desa Kwamki itu dapat dicapai dengan
kendaran darat atau melalui sungai, meskipun terakhir harus dengan jalan kaki
yang keseluruhannya memakan waktu sekitar tujuh jam. Kecamatan Akimuga bisa
dicapai lewat sungai dengan perahu dayung selama tiga hari dan dilanjutkan
dengan jalan kaki selama dua hari. Daerah terpencil ini dapat pula dicapai
dengan pesawat tipe Cessna atau helikopter. Daerah ini mulai dimasuki
Missionaris Katolik pada tahun 1939. Di Kecamatan ini pula pada tahun 1971
dibangun kota Tembagapura yang super modern yang pada tahun 1991 berpenduduk
5.000 jiwa. Di sekitar Tembagapura ini daerah permukiman orang Amungme dengan
kehidupan yang belum layak, misalnya banyak anak-anak kekurangan gizi, dengan
busana yang minim seperti koteka.
Data tahun 1981 orang Amungme di desa
Kwamki terdaftar sekitar 3.000 jiwa. Data penduduk Kecamatan Mimika Timur tahun
1990 menunjukkan jumlah 25.000 jiwa yang tersebar dalam delapan buah desa.
Beberapa jumlah orang Amungme pada tahun yang lebih akhir di desa Kwamki atau
di desa-desa lain dalam kecamatan tersebut tidak jelas. Pada tahun 1991 jumlah penduduk Kecamatan
Akimuga sekitar 15.000 jiwa dan mayoritas orang Amungme.
B.
Sejarah
Menurut legenda yang, konon orang
Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat
ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima
yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme
mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa
mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup
disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang
dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih). Suku Amungme
menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa
dari tangan Nagawan Into (Tuhan).
C.
Kebiasaan
Suku Amungme memiliki tradisi pertanian
berpindah, dan berburu. Mereka mendiami beberapa lembah luas di kabupaten
Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah
Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah
Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut
suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan
kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama
dan "mee" yang artinya manusia.
D.
Bahasa
Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu
Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan
Damal-kal untuk suku yang menetap di utara. Suku Amungme juga memiliki bahasa
simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit
dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya
diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat. Dengan orang di luar
kelompoknya, mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi.
Orang Amungme bertetangga dengan beberapa kelompok lain. Di bagian timur,
mereka bertetangga dengan orang Moni dan orang Mee (Ekagi), di bagian barat
bertetangga dengan orang Lani dan orang Ndugwa, sedangkan di
bagian selatannya berdiam orang Nafaripi.
E.
Kesenian
Lagu purba Suku Amungme yang mungkin
sudah tidak dipahami lagi oleh orang Amungme generasi sekarang. Misalnya lagu
purba yang syairnya Angaye-angaye, No emki untaye. Noken,yaitu sejenis tas terbuat
dari akar tumbuhan/rotan. Tifa adalah alat musik tradisional papua. Tidak
banyak seni rupa yang dimiliki oleh suku ini, kebanyakan mereka hanya memiliki
seni adat dan budaya itu sendiri, misalnya Salah satu keunikan suku Amungme
adalah dengan adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu.
Tradisi ini merupakan salah satu tradisi terpenting masyarakat suku amungme
yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran,
kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Persiapan awal tradisi
ini masing - masing kelompok menyerahkan hewan babi sebagai persembahan,
sebagain ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar.
Proses ini awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa lalu mulai dibakar
sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas. Setelah itu, babi yang telah
di persiapkan tadi dipanah terkebih dahulu. Biasanya yang memanah adalah kepala
suku dan dilakukan secara bergantian. pada Tradisi ini ada pemandangan yang
cukup unik dalam ritual memanah babi. Ketika semua kepala suku sudah memanah
babi dan langsung mati, pertanda acara akan sukses dan bila tidak babi yang di
panah tadi tidak langsung mati, diyakini acara tidak akan sukses.
F.
Spiritualisme
Konsep mengenai tanah, manusia dan
lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari.
Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara,
mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah
dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun,
berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur
sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan
dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur
yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme
menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Beberapa model kepemimpinan suku
Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk
menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat
muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan
ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya
mereka sendiri.
Daerah pegunungan merupakan daerah
ektrim, Saking kerasnya alam pegunungan telah membentuk karakter masyarakat
Amungme menjadi keras, non kompromi, fair dan gentlemen serta selalu melakukan
tindakan preventif dalam segala aktivitas sehingga suku Amungmme menggangap
dirinya penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into
(Tuhan). Suku Amungme sangat terikat dengan tanah leluhur mereka dan menganggap
gunung sebagai sesuatu yang sakral. Gunung yang dijadikan sebagai pusat
penambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang
diagung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang
artinya panah dan Kawi artina suci. Hal ini ditanamkan kepada setiap generasi,
sehingga jikalau ada yang ingin mengambil gunung yang mereka anggap suci mereka
siap untuk berperang.
Setiap hari dia bertemu dengan anak-anak
suku Amungme dan Kamoro yang tidak sekolah dan berkeliaran di jalanan Timika.
Kebanyakan bekerja sebagai pemulung. Lingkungan di Timika berpengaruh besar
bagi mereka, anak-anak itu gampang tertular kebiasaan mabuk. Mendidik anak-anak
yang masih dalam tingkat pendidikan dasar akan lebih mudah dan lebih penting
daripada mendidik mereka yang sudah beranjak remaja. Ibarat pohon, “anak-anak
itu masih bisa dibengkokkan dan dibentuk, kalau yang sudah remaja itu susah
sekali.” Jadi, pada kesempatan inilah para orang tua mendindik anaknya dengan
keras agar mereka dapat menjadi panakhluk, penguasa, pewaris suku amungme.
No comments:
Post a Comment