Klik 👇👇👇

Thursday, 28 April 2016

Kata Alkitab Tentang Perceraian

BAB I 
 PENDAHULUAN

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula perkawinan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Pada kesempatan ini penulis ingin menguraikan beberapa hal penting tentang Perceraian (terkhusus dalam agama Kristen). Dan, pada kesempatan ini juga penulis mengambil beberapa perbandingan tentang pandangan-pandangan tentang perceraian baik secara Hukum maupun dalam Agama (terkhusus Agama Islam). Dengan data-data yang ada penulis menjelaskan dengan cara sederhana tentang pandangan orang percaya tentang perceraian, dan semua selalu didasarkan oleh kebenaran Firman Tuhan. Semoga dengan makalah yang penulis sajikan ini manjadi bahan renungan bagi setiap orang percaya untuk tidak melakukan hal-hal yang jahat dimata Tuhan (Maleakhi 2:16a). Tuhan Yesus Memberkati…..

BAB II 
 PERCERAIAN 

 A. Apa Itu Perceraian? Secara Umum Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan dimana saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat menyelesaikannya ke pengadilan. B. Penyebab Perceraian Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Perceraian dilihat dari putusnya perkawinan yaitu: 1. karena kematian 2. karena perceraian (dilakukan oleh kehendak/keputusan manusia) Ada beberapa hal yeng menjadi pendorong orang untuk bercerai dari pasangannya. Robert Borrong menyatakan ada tiga hal utama yang mendorong perceraian; yaitu pendidikan, pendapatan/pekerjaan, dan perkawinan dini. Ketiga hal ini dapat saling terikat dan menguatkan alasan-alasan untuk bercerai. Kecenderungan ini juga didorong dari modernisasi dan keterbukaan kehidupan masa kini. Selain hal tersebut, perceraian juga bisa disebabkan oleh perbedaan usia, keyakinan, dan latar belakang keluarga. Salah satu pendorong perceraian adalah kurangnya pengalaman beragama dari sebuah pasangan. Faktor lain penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut: 1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail. 2. Krisis moral dan akhlak Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang. 3. Perzinaan Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. 4. Pernikahan tanpa cinta Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta atau menikah dengan paksaan. 5. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami istri . C. Akibat Perceraian Pada dasarnya perceraian akan merugikan semua pihak, bahkan anak yang dibesarkan oleh orangtua yang bercerai kemungkinan besar akan melakukannya juga di kemudian hari. Perceraian juga tidak bisa semata-mata dilarang karena akibatnya tersebut. Banyak juga yang bercerai karena memang mengalami trauma dan kehidupan yang kacau dan menjadi lebih tersiksa dalam proses perceraian dan masa sesudahnya. Ada beberapa fakta mengejutkan yang muncul sebagai efek dari perceraian: 1. Tiga dari lima anak merasa ditolak oleh paling tidak satu orangtua. 2. Lima tahun sesudah perceraian, lebih dari 1/3 jumlah anak memperoleh nilai yang lebih buruk dibandingkan sebelum perceraian. 3. Sepertiga jumlah perempuan dan seperempat jumlah laki-laki merasa bahwa hidup tidak adil, mengecewakan, dan sepi. 4. Lebih banyak orang bercerai yang datang untuk menemui psikiater daripada mereka yang masih menikah atau lajang. 5. Anak-anak yang orangtuanya bercerai memiliki prestasi yang lebih rendah di sekolah, memiliki masalah dengan tingkah lakunya di rumah dan sekolah, dan terlibat dalam tindak kejahatan maupun seksual lebih cepat dari mereka yang orangtuanya tetap bersama. 6. Dibandingkan mereka yang keluarganya tetap bersama, orang dewasa yang mengalami perceraian orangtuanya di masa kecil akan mengalami kesulitan menyesuaikan diri secarapsikologis, pendapatan sosial ekonomi yang lebih rendah, dan ketidakstabilan kehidupan pernikahannya . D. Perceraian Menurut: 1. Hukum Berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian atau putusnya perkawinan. Khusus tentang putusnya perkawinan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan Pengadilan. Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai alasan perceraian adalah: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 2. Agama Islam Islam membimbing umatnya agar tidak memecah-belah persaudaraan di antara sesama muslim. Pernikahan adalah salah satu sunnah Rosulullah S.A.W. yang akanlah kita mendapat pahala jika melakukannya. Perceraian sendiri adalah suatu hal yang halal untuk dilakukan. Namun halnya, jikalau sepasang suami-istri melakukan perceraian, alkisah mengatakan bahwa 'Arsy terguncang sebegitu dahsyatnya. Oleh karena hal tersebut, Allah membenci perceraian, meski telah dikatakan bahwa hal ini adalah halal. Perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya (karena kematian). Adapun yang menyebabkan putusnya perkawinan:  Putusnya Perkawinan Karena Thalaq. Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan.  Putusnya perkawinan karena Khulu’. Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan. Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka isteri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut baginya.  Putusnya perkawinan karena Fasakh. Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun pengertian fasakhmenurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri. Thalaq adalah hak suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan.  Putusnya perkawinan karena Li’an. Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.  Putusnya perkawinan karena Syiqaq. Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil.  Putusnya perkawinan karena Ila’. Ila’ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.  Putusnya perkawinan karena Zihar. Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam zhihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzhihar isteri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar.

BAB III
 PANDANGAN ORANG PERCAYA TENTANG PERCERAIAN 

 A. Pandangan Alkitab Tentang Perceraian 1. Menurut Perjanjian Lama Kita akan melihat sebuah teks dari Perjanjian Lama mengenai perceraian yang diatur dalam Taurat. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 24:1-4, Satu hal yang jelas dari ayat ini bahwa dia bukan untuk mengatur perceraian melainkan untuk melarang laki-laki untuk mengawini ulang mantan isterinya. Kita bisa lihat bersama bahwa tidak ada aturan mengenai perceraian dalam bagian ini, yang diatur adalah bagaimana seharusnya suami bertindak kepada mantan isterinya. Kata ‘tidak senonoh’ pada suatu bagian Alkitab terdapat perdebatan antara Rabi Hillel dan Rabi Shammai. Kenapa menjadi perdebatan karena mereka merasa bahwa kata tidak senonoh tidak mungkin merujuk kepada perzinahan, karena yang melakukannya pasti dirajam mati. Rabi Shammai condong mengartikannya sebagai pelanggaran seksual, sementara Rabi Hillel mengartikannya bahwa suami tidak lagi menyukai isterinya, bahkan dengan alasan yang sepele sekalipun. Karena itu sekali lagi kita harus lihat bahwa ayat di atas sebenarnya bukan berbicara mengenai syarat perceraian melainkan bagaimana suami harus bertindak kepada mantan isterinya. 2. Menurut Perjanjian Baru Kehendak Allah terhadap pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Kristus mengakui hanya satu alasan sah untuk perceraian seperti yang ada dalam Alkitab: Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Matius 5:32; Luk. 16:18; 1 Kor. 7:10-11). Dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai “perzinahan” bisa merujuk pada bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks. Yesus mungkin bermaksud mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan . Hubungan seksual merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Yesus menekankan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Allah (Matius 19:8). Dalam bagian ini Yesus menekankan bahwa perkawinan itu adalah selamanya. Allah sangat tidak senang dengan orang-orang yang menceraikan istri atau suaminya yang selalu berlaku setia. Dalam Alkitab kita bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Menarik untuk diketahui bahwa bagian yang sering digunakan sebagai nast perkawinan adalah justru penjelasan Yesus mengenai perceraian. Ikatan perkawinan adalah kuk ilahi yang dipasang atas laki-laki dan perempuan . Jika seorang suami atau istri meninggalkan suatu perkawinan karena sesuatu alasan selain perzinahan, mereka harus tetap membujang (tidak boleh kawin). Ada dalam Alkitab,”Terhadap mereka yang sudah kawin, inilah perintah saya: (Sebenarnya bukan saya yang memberi perintah ini, tetapi Tuhan.) Seorang wanita yang sudah kawin janganlah meninggalkan suaminya. Tetapi kalau ia sudah meninggalkannya, ia harus tetap tidak bersuami, atau kembali kepada suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya” (1 Korintus 7:10-11). Kalau sudah kawin dengan seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan bukanlah alasan yang dapat diterima untuk perceraian . Jadi sebagai orang percaya menanggapi tentang perceraian ini merupakan suatu kegagalan melaksanakan perintah Allah dan karenanya selalu jahat. Yesus sangat tegas mengenai hal ini. Tetapi kadang-kadang perceraian dapat menjadi least evil apabila keutuhan perkawinan dan tujuan dari perkawinan sudah dilanggar oleh salah satu pihak. Namun tetap hal ini adalah kegagalan di mata Allah. Kegagalan hubungan perkawinan adalah dosa. Namun Kristus datang bagi mereka yang mengalaminya sebagai percobaan dan penderita. Ini mungkin yang menjadi maksud Yesus memberikan secercah pengecualian kepada perceraian yang disebabkan oleh perzinahan. B. Solusi Perceraian Dalam Kekristenan 1. Konseling Sebelum pasangan memutuskan untuk berpisah mereka mempunyai tanggung jawab pada Tuhan, diri mereka sendiri, dan keluarga mereka sendiri untuk melakukan apa saja yang bisa digunakan untuk menghindari perceraian dan membawa pembaharuan pada pernikahan. Hal ini membutuhkan pendekatan yang halus dan beralasan untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan; suatu pendekatan yang seringkali tidak dilakukan. Namun, jika suami istri itu mempunyai keinginan untuk menyelesaikan konflik dan membangun hubungan, maka kesempatan untuk menghindari perceraian terbuka lebar. 2. Intropeksi Diri Dengan atau tanpa konseling, setiap pasangan harus bertanya, "Apa yang aku lakukan (atau yang gagal dilakukan) yang menyebabkan masalah dalam pernikahanku?" Penyebabnya bisa jadi karena adanya kritikan, harapan yang tidak masuk akal, perbuatan yang disebabkan oleh pengalaman pahit, penolakan untuk mengampuni, ketidaksetiaan pada pasangan, ketidakinginan untuk membangun suatu pernikahan, atau perbuatan- perbuatan serupa yang merugikan dan membuat ketegangan dalam pernikahan. Tuhan Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk melihat (dan kiranya menghindari) kesalahan-kesalahan yang dilakukan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Kita tidak mungkin bisa melihat diri kita sendiri dengan jelas, tetapi jika kita meminta Tuhan untuk membuka pikiran kita, Tuhan pasti mengabulkannya, mungkin melalui penilaian yang dilakukan oleh konselor atau pandangan dari salah seorang teman. Lalu pasangan itu harus mencari pertolongan dari Tuhan atau sesamanya untuk menghilangkan tingkah laku yang merugikan ini. 3. Rekonsiliasi Setelah mempunyai keinginan untuk bercerai, hanya satu dari delapan pasangan yang mencoba untuk melakukan rekonsiliasi. Meskipun demikian sebagian dari mereka masih tetap mengusahakan proses rekonsiliasi ini. Seringkali rekonsiliasi muncul setelah dilakukan diskusi selama berjam-jam untuk menyelesaikan masalah diantara pasangan tersebut. Namun, sebenarnya rekonsiliasi adalah wujud dari keinginan Allah yang tidak menghendaki perceraian. 4. Pimpinan Tuhan Hanya Tuhan yang dapat benar-benar memperbaiki dan menyembuhkan suatu pernikahan yang gagal. Baik secara pribadi atau bersama- sama, setiap pasangan harus mencari kehendak, kekuatan, dan pimpinan Tuhan sebagai cara untuk menjaga agar kehidupan rohani mereka tetap hidup dan berkembang; juga sebagai usaha untuk mencegah perceraian. Membaca Alkitab dan berdoa setiap hari adalah suatu kekuatan ampuh bagi pasangan untuk mendapatkan kuasa kesembuhan dari Tuhan. Dari solusi diatas semuanya itu tidak lepas dari pengaruh gereja. Orang-orang percaya diperintahkan untuk saling menanggung beban orang lain, saling memperhatikan, dan saling mendoakan. Bagi orang Kristen, doa, perhatian, pemeliharaan, dan dukungan bukan merupakan pilihan. Semuanya itu telah diperintahkan oleh Tuhan. Dengan demikian, untuk menghindari perceraian, orang-orang percaya diperintahkan untuk berdoa bagi pasangan-pasangan yang sudah menikah, bahkan ketika pernikahan-pernikahan itu dalam kondisi sehat/baik-baik saja. Doa yang efektif dan perhatian yang tulus sangat membantu dalam proses pemulihan, dan bahkan pemulihan bagi pernikahan-pernikahan yang tidak sehat .

BAB IV 
 KESIMPULAN 

Perkawinan adalah suatu hal yang suci yang diberikan Allah kepada manusia sejak awalnya. Perkawinan juga diberikan dengan sebuah tujuan. Namun ketika tujuan itu dilanggar maka banyak hal yang harus dipertimbangkan. Perceraian tetaplah merupakan sesuatu yang jahat dan juga dosa. Perceraian juga membawa kerugian secara mendalam bagi mereka yang berpisah, anak-anak mereka, bahkan keluarga besar mereka. Allah mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anak-Nya. Orang-percaya yang bercerai dan menikah kembali hendaknya tidak perlu merasa kurang dikasihi oleh Allah. Bahkan, sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam definisi “klausa pengecualian” di Matius 19:9 . Penulis berpendapat bahwa memang cerai itu adalah dosa dan jahat dimata Tuhan namun ketika tujuan dari perkawinan sudah dilanggar dengan tidak adanya lagi kesatuan daging, penolong yang sepadan, maka perceraian menjadi di ambang mata. Tetapi dengan berbagai penjelasan penulis diharapkan orang yang membaca dan merenungkan makalah ini menjadi suatu penolong atau pembuka jalan agar perceraian itu tidak terjadi dan tetap menjalankan ikatan pernikahan dengan baik. Penulis sekali lagi menegaskan bahwa perceraian tidak boleh dilakukan. Karena: 1. Perceraian merupakan larangan Tuhan. Allah tidak pernah merencanakan dan mengijinkan perceraian diantara umat-Nya (Matius 19:6, Roma 7:2) 2. Perceraian merusak sumpah sakral dalam pernikahan yang dibuat Allah (Amsal 2:17). 3. Perceraian membatalkan seorang penilik jemaat. Salah satu kualifikasi bagi seorang penilik jemaat adalah bahwa dia haruslah suami dari satu istri.

No comments:

Post a Comment