Klik 👇👇👇

Thursday, 21 April 2016

Pengenalan Suku Nias

Pengenalan Tentang Suku Nias 
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari[1].
Dengan demikian, pada kesempatan kali ini penulis akan memampargan beberapa kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam suku Nias:
1.       Ono Mbela
Di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah Sowanua atau Ono mbela. Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan yaitu Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang tumbuh dan merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, maka sebagian dari mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain tersangkut  di atas pohon.
Keturunan Ibu Sirici yang jatuh di atas pohon inilah yang kemudian menjadi ono mbela dan dipercaya oleh orang Nias sebagai roh yang dapat membantu juga dapat mencelakkan mereka. Ono mbela ini dapat melakukan beberapa hal-hal yang mistik:



1.      Dapat Membantu
a)      Mencari benda/hewan yang hilang atau diculik oleh orang lain (biasanya di Nias kandang babi berada di perkarangan belakang rumah dan dilepas begitu saja)
b)      Dapat memberikan kekuatan gaib kepada orang-orang yang datang dan melaukan ritual tertentu yang dibantu oleh ERE (seseorang yang menjadi penghubung antara manusia dengan roh mbela tersebut. Dll.
2.      Dapat Mencelakakan
a)      Biasanya hal ini dialami oleh orang yang pertaman kali menginjakkan kakinya di suatu daerah atau kebun. Ono Mbela dapat membutakan mata orang tersebut secara mistik sehingga ia tidak dapat melihat jalan pulang.
b)      Jika menebang pohon sembarangan tanpat melakukan ritual atau suatu permintaan ijin kepada ono mbela ini, ia akan mencelakakan orang yang menebang pohon tersebut. Biasanya ono mbela mengarahkan pohon tersebut kepada orang yang menebangnya sehingga mereka celaka.
c)      Jika seseorang berteriak, ngomong kotor, memaki, dan menghujat daerah tersebut di dalam hutan atau kebun biasanya ono mbela ini menculik atau membawanya keatas pohon (biasanya ada orang yang dapat selamat dan ada juga yang hilang tanpa diketahui keberadaanya). Dll.
Oleh sebab itu ono mbela ini sangat ditakuti dan disembah oleh orang Nias dengan melakukan ritual tertentu. Karena jika tidak melakukan hal-hal tersebut mereka takut ono mbela akan mencelakakan mereka.







A.    Ciri-ciri Ono Mbela
Masyarakan Nias percaya bahwa ono mbela ini memiliki ciri-ciri khusus yang dekenal oleh orang Nias:
1.      Memiliki rambut dan kulit yang berwarna putih
Ciri yang pertama ini sangat dipercayai oleh orang Nias walaupun mereka tidak pernah berjumpa langsung dengan ono mbela. Isu ini berawal dari orang-orang yang melakukan ritual khusus untuk mendapatkan ilmu atau dari seorang ere (dukun) yang melakukan ritual dalam penyembahan ono mbela. Ciri ini berdampak buruk bagi orang Nias yang sangat mempercayai hal tersebut, karena jika mereka melihat orang (manusia) yang memiliki ciri seperti itu mereka dapat menyebutnya keturunan ono mbela sehingga orang tersebut diasingkan dari lingkungan sekitarnya.
2.      Memiliki paras cantik
Ciri yang kedua ini juga dipercaya oleh suku Nias bahkan mereka percaya bahwa manusia yang hilang karena tergoda paras cantik ono mbela ini (terutama bagi pria). Dengan kekuatan gaib yang dimiliki ono mbela, ia dapat berubah wujud dalam bentuk yang ia mau tetapi lebih dominan dalam bentuk perempuan yang cantik.
3.      Bermata biru dan bersinar
Ciri yang ketiga ini merupakan ciri fisik yang dapat dikenal dan dipercaya oleh suku Nias. Hal ini merupakan salah satu ciri yang dapat membedakan ono mbela ini dengan makluk roh lain, seperti lagara, nadaoya dll.
Dengan ciri  utama diatas suku Nias dapat membedakan ono mbela dengan makluk roh lainnya, masih banyak ciri lainnya tetapi dengan ciri diatas kita sudah dapat membedakan ono mbela dengan yang lain[2].
B.     Cara Penyembahan
Untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mendatangkan musibah yang disebkan oleh ono mbela, seorang dukun (Ere) harus melakukan ritual yaitu dengan melepas seekor ayam putih yang masih hidup di bawah pohon dan pecahan periuk yang diletakkan dibawahnya agar roh yang ada di pohon (saho, mbela) menjauhkan mereka dari mala petaka.
Dengan ritual yang dilakukan tersebut mereka percaya bahwa meraka tidak diganggu oleh “roh mbela atau ono mbela” tersebut. Masyarakat Nias melakukan ritual di bawah pohon karena mereka percaya bahwa rumah ono mbela ini yaitu di atas pohon besar dan tua. Jadi lebih spesifik jika melakukan ritual dibawah pohon tersebut.
C.    Saudara dari roh Bela “ono mbela”
Masyarakat Nias mengenal beberapa saudara ono mbela ini yang jatuh ke bumi dan juga menjadi roh yang menjadi penghuni sebuah tempat, seperti:

1)      Keturunan Ibu Sirici yang jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, namanya sering disebut hadroli. Biasanya dalam suku Nias jika mau menangkap ikan dengan cara-cara tradisional mereka harus melakukan ritual terlebih dahulu supaya mereka mendapat ijin dari roh yang ada di sungai tersebut atau yang sering disebut handoli. Mereka juga mempercaya bahwa jika menyembah kepada roh ini dapat mendatangkan rezeki yang lebih banya. Banya kejadian yang suku Nias percaya bahwa handoli ini juga dapa menyakiti orang yang sembarangan madi disungai atau berkata yang tidak sopan, dll. Jadi, jika seseorang sakit ketika baru main dari sungai jadi harus melakukan ritual seperti syarat yang telah ditentukan oleh ere (dukun) yang ahli dalam melakukan ritual tersebut.
2)      Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh batu-batu dan disebut lagara. Lagara ini menjadi leluhur orang-orang berilmu kebal. Biasanya lagara ini dipercaya sebagai sumber kekuatan pertahan tubuh sehingga banyak orang Nias yang berbondong-bondong datang dan meminta ilmu hitam dengan ritual khusus. Cirri-ciri lagara ini sulit diidentifikasikan karena sering berubah-ubah bentuk yang ia mau.
3)      Nadaoya yang berarti roh yang tinggal di dalam gua. Secara fisik pun mereka berbeda, nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dan berkulit gelap[3]. Nadaoya ini juga menjadi sasaran untuk melakukan ritual-ritual untuk mendapatkan kekuatan gaib. Sehingga banyak orang-orang Nias yang melakukan meditasi berhari-hari di dalam gua hanya untuk mendapatkan ilmu hitam.
2.      Adu Siraha Horö
Adu merupakan sebuah patung dan biasanya Adu (patung) ini terbuat dari kayu Manawa Danö, Manawa Mbanua atau Ma’usö. Tinggi 151,9 cm dengan tebal 9.0 cm. Kegunaan dari patung ini yaitu: Sebelum para leluhur pergi berburu kepala manusia, mereka meminta restu dari patung ini sambil memukul Fondrahi (tambur) dan mengatakan:
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ya’oto ono la’i,
Aku anak yang satria,
Ya’oto simacua,
Aku pria perkasa,
Möi ndraga ba danö,
Kami akan pergi ke medan perang,
Möi ndraga mamunu niha,
Kami akan pergi membunuh orang,
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ombakha’ö na te’ala,
Beritahukanlah kalau kalah,
Ombakha’ö göi na möna.
Beritahukan juga kalau menang.
Bisa dikatakan bahwa Adu ini merupakan tempat penyembahan suku Nias untuk meminta kemenangan dalam medan perang atau perburuan. Dalam kepercayaan kepada Adu ini juga diberhalakan untuk memohon penga-mpunan jika mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar seperti membunuh orang pada saat berperang atau pada saat mereka baru pulang dari perburuan kepala manusia. Mereka harus terlebih dahulu menghadap Adu Siraha Horö untuk memohon pengampunan sebelum bergabung dengan keluarga. Tujuannya untuk menghindari bencana. Dalam ritus ini yang bersangkutan menyandarkan tubuhnya pada patung Siraha Horö sambil mengatakan ‘Ohe khöu horögu!’ (Bawalah untukmu dosa-dosaku).
3.      Adu Harimao
Pada zaman dahulu sebelum agama baru masuk, menurut kepercayaan masyarakat Nias di wilayah Maenamölö, Nias Selatan, patung seperti ini diusung dan diarak sekali setiap tujuh tahun sebagai salah satu upacara religi kuno yang sakral. Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao.’ Setelah patung tersebut diarak, kemudian dipatahkan dan dibuang ke dalam sungai atau air terjun dengan keyakinan bahwa segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung harimau tersebut. Famatö Harimao (pematahan patung harimau), tidak ada hubungannya dengan hewan harimau yang sesungguhnya tidak terdapat di Nias. Patung yang diarak pada zaman dahulu tidak seperti ini. Namanya Adu Harimao, tetapi anatominya seperti bentuk anjing berkepala kucing. Pada penutupan (akhir) upacara Famatö Harimao, hukum dan peraturan kemasyarakatan juga ditetapkan dan disyahkan layaknya seperti dalam Fondrakö (upacara pembaharuan, penetapan dan pengesahan hukum). Dalam usaha pelestarian dan revitalisasi budaya lokal, maka tradisi kuno ini sering dilakukan di Nias Selatan pada moment-moment tertentu, namun upacara ini bukan lagi ‘Famatö Harimao’ namanya tetapi diubah menjadi ‘Famadaya Harimao’ (perarakan patung harimau)[4].
4.      Pelebegu
Pelebegu yang artinya menyembah roh adalah nama agama asli orang Nias yang diberikan oleh nenek moyang mereka. Penganutnya sendiri menyebutnya Molohe Adu yakni penyembah roh leluhur. Agama ini berkisar pada penyembahan roh leluhur. Untuk kepentingan ini mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu.
Dewa-dewa yang terpenting dalam kepercayaan Pelebegu adalah Lowangi, yang dianggap sebagai raja segala dewa dari dunia atas, Latura Dano yakni saudara tua Lowangi, yang dianggap raja segala dewa dari dunia bawah. Dewa terpenting yang lain adalah Silewe Nasarata yang merupakan istri Lowangi, yang dianggap sebagai dewi pelindung para Ere (pemuka agama)[5].
Lowalangi berada di dunia atas (the upperworld) sebagai sumber kebaikan, Lature Danö di dunia bawah (the underworld) sebagai sumber keburukan (kejahatan), sedang Siléwé Nazarata di dua dunia (atas dan bawah). Struktur ini, menurut Suzuki, berdasar prinsip agama kuno (religi) Nias, yaitu dualisme (ambivalensi) dan monisme (totalitas). Dualisme melukiskan perbedaan kontras (misal: dunia atas-bawah, pria-wanita, baik-buruk), ditunjukkan oleh peran Lowalangi dan Lature Danö. Monisme adalah gabungan perbedaan itu (misal: pencipta-perusak, hidup-mati, dermawan-penipu, atau biseksual), ditunjukkan oleh peran Siléwé Nazarata[6].
Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana misalnya: Dukun atau pemimpin agama kuno (Ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (Hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pember-halaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.
5.      Benda-benda mati yang disakralkan
Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: Sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli danö. Artinya: Paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan. Kepercayaan dalam bentuk ani-misme-politheisme ditinggalkan oleh masyarakat setelah para misionaris menyebarkan agama di Nias. Pembuatan patung-patung dilarang, karena hanya dipandang dari sisi teologis saja, sementara pesan moral dan nilai seni di dalam berbagai patung (ukiran dan pahatan) itu tidak dihiraukan[7].
6.      Tradisi batu-batu besar (megalit)
Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan berdasarkan perjalanan sejarah, di prediksi berasal dari Zaman Batu Muda (Neolithicum) sekitar 1000 – 1500 M. Hal tersebut diyakini demikian karena sejalan dengan terjadinya perpindahan penduduk dari daratan Asia menuju keberbagai pelosok melalui Semenanjung Malaka, maupun melalui Asia Kecil ke jazirah Arab kemudian menuju India bagian Selatan dan seterusnya di Pulau Nias. Selain itu, sampai pada saat ini di Indonesia tidak atau belum ditemukan persamaan jenis peninggalan setua itu.


Kebudayaan Megalitik pada awalnya disebarkan oleh masyarakat pendukungnya ke daerah Timur, sehubungan dengan kegiatan mereka mengadakan perjalanan mencari kerang, mutiara dan emas. Kebudayaan Megalitik sangat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat di Indonesia. Pada daerah yang memiliki peninggalan Kebudayaan Megalitik, kegiatan religi masyarakatnya selalu berkaitan dengan aset budaya peninggalan tersebut.
Letak peninggalan di lokasi perbukitan ataupun pegunungan juga diyakini sebagai alasan logis bagi masyarakatnya dalam hal mengupayakan sisi praktis dalam menjaga keamanan dari serangan musuh. Nenek moyang suku bangsa Nias mendirikan tempat pemukiman di gunung karena adanya anggapan bahwa gunung merupakan tempat yang suci dan keramat.
Masyarakat Nias pada umumnya dan khususnya masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, sangat mengagungkan peninggalan kebudayaan Megalitik di Orahili-Gomo. Peninggalan di Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai dan fungsi yang sangat besar bagi masyarakat setempat sampai pada masa sekarang.
Peninggalan Megalitik di daerah ini terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain : Batu Tegak, Batu Datar, Meja Batu, Batu Tegak Segi Empat Pipih, Batu Tegak Segi Empat Balok, Batu Bulat Berlumpang Dua dan Patung Manusia. Salah satu bentuk peninggalan yang terpenting adalah sekumpulan besar Menhir, Dolmen, Sakrofagus dan hasil-hasil kebudayaan Megalitik lainnya. Benda-benda Megalitik dalam upacara religi bertujuan menghormati arwah nenek moyang yang dipercaya dapat melindungi masyrakat dari berbagai macam bahaya dan malapetaka.
Variasi bentuk Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili Gomo memiliki ciri khas tersendiri yang tidak atau belum ditemukan persamaannya di daerah atau tempat lain di Indonesia. Bentuknya ada yang menyerupai manusia dan juga binatang. Keunikan bentuk peninggalan tersebut memiliki fungsi yang mengandung makna simbol, seperti : Batu Tegak dipergunakan sebagai simbol dari laki-laki, sedangkan Batu Datar merupakan symbol perempuan. Selain itu peninggalan ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan pada dewa, penghormatan pada nenek moyang, orangtua dan kepala adat, juga sebagai tempat penguburan[8].
7.      Penutup
Dalam pembahasan ini maka penulis menguraikan kepercayaan yang dianut oleh orang Nias sampai sekarang, biar melalui pembahasan ini orang orang yang membacanya bisa mengetahui kepercayaan orang Nias. Demikianlah pembahasan ini Tuhan Yesus Memberkati.





[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
[2]http://www.wacananusantara.org/suku-nias/
[3]http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2175/ono-mbela-nadaoya-dan-lani-ewna-leluhur-orang-nias
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQkTc7n0EvLVMlS-LOp9iXES0b5crwLwldcDOwI9QcxrP1Rg-Sjhttps://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQkTc7n0EvLVMlS-LOp9iXES0b5crwLwldcDOwI9QcxrP1Rg-Sjhttps://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRPSClEA2aLH3pwWwolYREVzSghhpbFmtu323DZLeucDxEYwP-ymw
[4]http://www.museum.pusaka-nias.org/2011/10/wahana-religi-1.html
[5]http://riska-anestia.blogspot.com/2010/04/tugas-antropologi.html
[6]http://niasonline.net/2008/04/14/melacak-mitos-silewe-nazarata/comment-page-2/
[7]http://riska-anestia.blogspot.com/2010/04/tugas-antropologi.html
[8]http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/10/fungsi-budaya-megalitik-di-orahili-gomo.html

No comments:

Post a Comment