Pengenalan
Tentang Suku Nias
Suku
Nias adalah kelompok masyarakat yang
hidup di pulau Nias.
Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha"
(Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö
Niha" (Tanö = tanah).
Suku
Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang
masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang
mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat
Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah
berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau
ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah
"Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu
melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan
ekor ternak babi selama berhari-hari[1].
Dengan
demikian, pada kesempatan kali ini penulis akan memampargan beberapa
kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam suku Nias:
1.
Ono Mbela
Di
Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah Sowanua
atau Ono mbela. Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan yaitu
Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi
menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang tumbuh dan merambat di
pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, maka sebagian dari
mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain tersangkut di atas
pohon.
Keturunan
Ibu Sirici yang jatuh di atas pohon inilah yang kemudian menjadi ono mbela dan
dipercaya oleh orang Nias sebagai roh yang dapat membantu juga dapat
mencelakkan mereka. Ono mbela ini dapat melakukan beberapa hal-hal yang mistik:
1. Dapat
Membantu
a) Mencari
benda/hewan yang hilang atau diculik oleh orang lain (biasanya di Nias kandang
babi berada di perkarangan belakang rumah dan dilepas begitu saja)
b) Dapat
memberikan kekuatan gaib kepada orang-orang yang datang dan melaukan ritual
tertentu yang dibantu oleh ERE (seseorang
yang menjadi penghubung antara manusia dengan roh mbela tersebut. Dll.
2. Dapat
Mencelakakan
a) Biasanya
hal ini dialami oleh orang yang pertaman kali menginjakkan kakinya di suatu
daerah atau kebun. Ono Mbela dapat membutakan mata orang tersebut secara mistik
sehingga ia tidak dapat melihat jalan pulang.
b) Jika
menebang pohon sembarangan tanpat melakukan ritual atau suatu permintaan ijin
kepada ono mbela ini, ia akan mencelakakan orang yang menebang pohon tersebut.
Biasanya ono mbela mengarahkan pohon tersebut kepada orang yang menebangnya
sehingga mereka celaka.
c) Jika
seseorang berteriak, ngomong kotor, memaki, dan menghujat daerah tersebut di
dalam hutan atau kebun biasanya ono mbela ini menculik atau membawanya keatas
pohon (biasanya ada orang yang dapat selamat dan ada juga yang hilang tanpa
diketahui keberadaanya). Dll.
Oleh
sebab itu ono mbela ini sangat ditakuti dan disembah oleh orang Nias dengan
melakukan ritual tertentu. Karena jika tidak melakukan hal-hal tersebut mereka
takut ono mbela akan mencelakakan mereka.
A.
Ciri-ciri
Ono Mbela
Masyarakan
Nias percaya bahwa ono mbela ini memiliki ciri-ciri khusus yang dekenal oleh
orang Nias:
1. Memiliki rambut dan kulit yang berwarna putih
Ciri
yang pertama ini sangat dipercayai oleh orang Nias walaupun mereka tidak pernah
berjumpa langsung dengan ono mbela. Isu ini berawal dari orang-orang yang
melakukan ritual khusus untuk mendapatkan ilmu atau dari seorang ere (dukun)
yang melakukan ritual dalam penyembahan ono mbela. Ciri ini berdampak buruk
bagi orang Nias yang sangat mempercayai hal tersebut, karena jika mereka
melihat orang (manusia) yang memiliki ciri seperti itu mereka dapat menyebutnya
keturunan ono mbela sehingga orang tersebut diasingkan dari lingkungan
sekitarnya.
2.
Memiliki paras cantik
Ciri yang kedua ini juga dipercaya oleh suku Nias
bahkan mereka percaya bahwa manusia yang hilang karena tergoda paras cantik ono
mbela ini (terutama bagi pria). Dengan kekuatan gaib yang dimiliki ono mbela,
ia dapat berubah wujud dalam bentuk yang ia mau tetapi lebih dominan dalam
bentuk perempuan yang cantik.
3.
Bermata biru dan bersinar
Ciri yang ketiga ini merupakan ciri fisik yang dapat
dikenal dan dipercaya oleh suku Nias. Hal ini merupakan salah satu ciri yang
dapat membedakan ono mbela ini dengan makluk roh lain, seperti lagara, nadaoya
dll.
Dengan ciri
utama diatas suku Nias dapat membedakan ono mbela dengan makluk roh lainnya,
masih banyak ciri lainnya tetapi dengan ciri diatas kita sudah dapat membedakan
ono mbela dengan yang lain[2].
B. Cara
Penyembahan
Untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat
mendatangkan musibah yang disebkan oleh ono mbela, seorang dukun (Ere) harus
melakukan ritual yaitu dengan melepas seekor ayam putih yang masih hidup di
bawah pohon dan pecahan periuk yang diletakkan dibawahnya agar roh yang ada di
pohon (saho, mbela) menjauhkan mereka dari mala petaka.
Dengan ritual yang dilakukan tersebut mereka percaya
bahwa meraka tidak diganggu oleh “roh mbela atau ono mbela” tersebut.
Masyarakat Nias melakukan ritual di bawah pohon karena mereka percaya bahwa
rumah ono mbela ini yaitu di atas pohon besar dan tua. Jadi lebih spesifik jika
melakukan ritual dibawah pohon tersebut.
C. Saudara
dari roh Bela “ono mbela”
Masyarakat Nias mengenal beberapa saudara ono mbela
ini yang jatuh ke bumi dan juga menjadi roh yang menjadi penghuni sebuah
tempat, seperti:
1)
Keturunan Ibu Sirici yang jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai,
namanya sering disebut hadroli. Biasanya dalam suku Nias jika mau
menangkap ikan dengan cara-cara tradisional mereka harus melakukan ritual
terlebih dahulu supaya mereka mendapat ijin dari roh yang ada di sungai
tersebut atau yang sering disebut handoli. Mereka juga mempercaya bahwa jika
menyembah kepada roh ini dapat mendatangkan rezeki yang lebih banya. Banya
kejadian yang suku Nias percaya bahwa handoli ini juga dapa menyakiti orang
yang sembarangan madi disungai atau berkata yang tidak sopan, dll. Jadi, jika
seseorang sakit ketika baru main dari sungai jadi harus melakukan ritual
seperti syarat yang telah ditentukan oleh ere (dukun) yang ahli dalam melakukan
ritual tersebut.
2)
Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh
batu-batu dan disebut lagara. Lagara ini menjadi leluhur orang-orang
berilmu kebal. Biasanya lagara ini dipercaya sebagai sumber kekuatan pertahan
tubuh sehingga banyak orang Nias yang berbondong-bondong datang dan meminta
ilmu hitam dengan ritual khusus. Cirri-ciri lagara ini sulit diidentifikasikan
karena sering berubah-ubah bentuk yang ia mau.
3)
Nadaoya yang berarti roh yang tinggal di dalam gua. Secara fisik pun
mereka berbeda, nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih
besar dan berkulit gelap[3].
Nadaoya ini juga menjadi sasaran untuk melakukan ritual-ritual untuk
mendapatkan kekuatan gaib. Sehingga banyak orang-orang Nias yang melakukan
meditasi berhari-hari di dalam gua hanya untuk mendapatkan ilmu hitam.
2. Adu
Siraha Horö
Adu merupakan sebuah patung dan biasanya
Adu (patung) ini terbuat dari kayu Manawa Danö, Manawa Mbanua atau Ma’usö.
Tinggi 151,9 cm dengan tebal 9.0 cm. Kegunaan dari patung ini yaitu: Sebelum
para leluhur pergi berburu kepala manusia, mereka meminta restu dari patung ini
sambil memukul Fondrahi (tambur) dan mengatakan:
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara
nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga
bergemuruh,
Ya’oto ono la’i,
Aku anak yang satria,
Ya’oto simacua,
Aku pria perkasa,
Möi ndraga ba danö,
Kami akan pergi ke medan perang,
Möi ndraga mamunu niha,
Kami akan pergi membunuh orang,
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara
nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga
bergemuruh,
Ombakha’ö na te’ala,
Beritahukanlah kalau kalah,
Ombakha’ö göi na möna.
Beritahukan juga kalau menang.
Bisa dikatakan bahwa Adu ini
merupakan tempat penyembahan suku Nias untuk meminta kemenangan dalam medan
perang atau perburuan. Dalam kepercayaan kepada Adu ini juga diberhalakan untuk
memohon penga-mpunan jika mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar
seperti membunuh orang pada saat berperang atau pada saat mereka baru pulang
dari perburuan kepala manusia. Mereka harus terlebih dahulu menghadap Adu
Siraha Horö untuk memohon pengampunan sebelum bergabung dengan keluarga.
Tujuannya untuk menghindari bencana. Dalam ritus ini yang bersangkutan
menyandarkan tubuhnya pada patung Siraha Horö sambil mengatakan ‘Ohe khöu
horögu!’ (Bawalah untukmu dosa-dosaku).
3.
Adu
Harimao
Pada
zaman dahulu sebelum agama baru masuk, menurut kepercayaan masyarakat Nias di
wilayah Maenamölö, Nias Selatan, patung seperti ini diusung dan diarak sekali
setiap tujuh tahun sebagai salah satu upacara religi kuno yang sakral. Upacara
tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao.’ Setelah patung tersebut diarak, kemudian
dipatahkan dan dibuang ke dalam sungai atau air terjun dengan keyakinan bahwa
segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada
tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung harimau tersebut. Famatö
Harimao (pematahan patung harimau), tidak ada hubungannya dengan hewan harimau
yang sesungguhnya tidak terdapat di Nias. Patung yang diarak pada zaman dahulu
tidak seperti ini. Namanya Adu Harimao, tetapi anatominya seperti bentuk anjing
berkepala kucing. Pada penutupan (akhir) upacara Famatö Harimao, hukum dan
peraturan kemasyarakatan juga ditetapkan dan disyahkan layaknya seperti dalam
Fondrakö (upacara pembaharuan, penetapan dan pengesahan hukum). Dalam usaha
pelestarian dan revitalisasi budaya lokal, maka tradisi kuno ini sering
dilakukan di Nias Selatan pada moment-moment tertentu, namun upacara ini bukan
lagi ‘Famatö Harimao’ namanya tetapi diubah menjadi ‘Famadaya Harimao’
(perarakan patung harimau)[4].
4.
Pelebegu
Pelebegu
yang artinya menyembah roh adalah nama agama asli orang Nias yang diberikan
oleh nenek moyang mereka. Penganutnya sendiri menyebutnya Molohe Adu yakni
penyembah roh leluhur. Agama ini berkisar pada penyembahan roh leluhur. Untuk
kepentingan ini mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu.
Dewa-dewa
yang terpenting dalam kepercayaan Pelebegu adalah Lowangi, yang dianggap
sebagai raja segala dewa dari dunia atas, Latura Dano yakni saudara tua
Lowangi, yang dianggap raja segala dewa dari dunia bawah. Dewa terpenting yang
lain adalah Silewe Nasarata yang merupakan istri Lowangi, yang dianggap sebagai
dewi pelindung para Ere (pemuka agama)[5].
Lowalangi
berada di dunia atas (the upperworld) sebagai sumber kebaikan, Lature Danö di
dunia bawah (the underworld) sebagai sumber keburukan (kejahatan), sedang
Siléwé Nazarata di dua dunia (atas dan bawah). Struktur ini, menurut Suzuki,
berdasar prinsip agama kuno (religi) Nias, yaitu dualisme (ambivalensi) dan
monisme (totalitas). Dualisme melukiskan perbedaan kontras (misal: dunia
atas-bawah, pria-wanita, baik-buruk), ditunjukkan oleh peran Lowalangi dan
Lature Danö. Monisme adalah gabungan perbedaan itu (misal: pencipta-perusak,
hidup-mati, dermawan-penipu, atau biseksual), ditunjukkan oleh peran Siléwé
Nazarata[6].
Dalam
acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana misalnya:
Dukun atau pemimpin agama kuno (Ere) sebagai perantara dalam menyampaikan
permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan
dalam bentuk syair-syair kuno (Hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere
juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk
dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen
dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan
supaya upacara pember-halaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan.
Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang
hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi
porsi ere pada akhirnya.
5.
Benda-benda
mati yang disakralkan
Banyak
benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan
supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah
kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu,
Kara Mboli, Öri Zökha dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini
tergambar dari ungkapan seperti: Sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli
danö. Artinya: Paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua
merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam
tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua)
selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan. Kepercayaan dalam bentuk
ani-misme-politheisme ditinggalkan oleh masyarakat setelah para misionaris
menyebarkan agama di Nias. Pembuatan patung-patung dilarang, karena hanya
dipandang dari sisi teologis saja, sementara pesan moral dan nilai seni di
dalam berbagai patung (ukiran dan pahatan) itu tidak dihiraukan[7].
6.
Tradisi
batu-batu besar (megalit)
Peninggalan
Kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan berdasarkan perjalanan sejarah,
di prediksi berasal dari Zaman Batu Muda (Neolithicum) sekitar 1000 – 1500 M.
Hal tersebut diyakini demikian karena sejalan dengan terjadinya perpindahan
penduduk dari daratan Asia menuju keberbagai pelosok melalui Semenanjung
Malaka, maupun melalui Asia Kecil ke jazirah Arab kemudian menuju India bagian
Selatan dan seterusnya di Pulau Nias. Selain itu, sampai pada saat ini di
Indonesia tidak atau belum ditemukan persamaan jenis peninggalan setua itu.
Kebudayaan
Megalitik pada awalnya disebarkan oleh masyarakat pendukungnya ke daerah Timur,
sehubungan dengan kegiatan mereka mengadakan perjalanan mencari kerang, mutiara
dan emas. Kebudayaan Megalitik sangat erat kaitannya dengan kebudayaan
masyarakat di Indonesia. Pada daerah yang memiliki peninggalan Kebudayaan
Megalitik, kegiatan religi masyarakatnya selalu berkaitan dengan aset budaya
peninggalan tersebut.
Letak
peninggalan di lokasi perbukitan ataupun pegunungan juga diyakini sebagai
alasan logis bagi masyarakatnya dalam hal mengupayakan sisi praktis dalam
menjaga keamanan dari serangan musuh. Nenek moyang suku bangsa Nias mendirikan
tempat pemukiman di gunung karena adanya anggapan bahwa gunung merupakan tempat
yang suci dan keramat.
Masyarakat
Nias pada umumnya dan khususnya masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, sangat
mengagungkan peninggalan kebudayaan Megalitik di Orahili-Gomo. Peninggalan di
Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai dan fungsi yang sangat besar bagi
masyarakat setempat sampai pada masa sekarang.
Peninggalan
Megalitik di daerah ini terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain : Batu
Tegak, Batu Datar, Meja Batu, Batu Tegak Segi Empat Pipih, Batu Tegak Segi
Empat Balok, Batu Bulat Berlumpang Dua dan Patung Manusia. Salah satu bentuk
peninggalan yang terpenting adalah sekumpulan besar Menhir, Dolmen, Sakrofagus
dan hasil-hasil kebudayaan Megalitik lainnya. Benda-benda Megalitik dalam
upacara religi bertujuan menghormati arwah nenek moyang yang dipercaya dapat
melindungi masyrakat dari berbagai macam bahaya dan malapetaka.
Variasi
bentuk Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili Gomo memiliki ciri khas
tersendiri yang tidak atau belum ditemukan persamaannya di daerah atau tempat
lain di Indonesia. Bentuknya ada yang menyerupai manusia dan juga binatang.
Keunikan bentuk peninggalan tersebut memiliki fungsi yang mengandung makna
simbol, seperti : Batu Tegak dipergunakan sebagai simbol dari laki-laki, sedangkan
Batu Datar merupakan symbol perempuan. Selain itu peninggalan ini juga
berfungsi sebagai tempat pemujaan pada dewa, penghormatan pada nenek moyang,
orangtua dan kepala adat, juga sebagai tempat penguburan[8].
7.
Penutup
Dalam
pembahasan ini maka penulis menguraikan kepercayaan yang dianut oleh orang Nias
sampai sekarang, biar melalui pembahasan ini orang orang yang membacanya bisa
mengetahui kepercayaan orang Nias. Demikianlah pembahasan ini Tuhan Yesus
Memberkati.
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
[2]http://www.wacananusantara.org/suku-nias/
[3]http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2175/ono-mbela-nadaoya-dan-lani-ewna-leluhur-orang-nias
[5]http://riska-anestia.blogspot.com/2010/04/tugas-antropologi.html
[6]http://niasonline.net/2008/04/14/melacak-mitos-silewe-nazarata/comment-page-2/
[7]http://riska-anestia.blogspot.com/2010/04/tugas-antropologi.html
[8]http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/10/fungsi-budaya-megalitik-di-orahili-gomo.html
No comments:
Post a Comment